Martin Buber (1878-1965) dalam dunia
filsafat dan teologi lebih masyhur dikenal sebagai salah satu tokoh
eksistensialisme lewat traktat filsafatnya, I-Thou. Namun, di negara
Israel, teolog Yahudi asal Jerman yang menghabiskan masa tuanya sebagai
profesor filsafat di Hebrew University di Jerusalem tersebut adalah seorang
Cassandra modern.
Cassandra dalam mitologi Yunani kuno
adalah putri raja Priam dan Hecuba dari Troya yang dianugerahi keistimewaan
tapi sekaligus didera kutukan oleh Dewa Appolo. Keistimewaannya, Cassandra bisa
meramalkan malapetaka sebelum terjadi. Namun, dan inilah kutukan itu, tak akan
ada orang yang mau mempercayainya.
Martin Buber adalah Cassandra modern
bagi Israel karena sejak sebelum Israel berdiri ia tak henti-hentinya mengecam
ide negara Yahudi di Israel dan menawarkan negara yang menampung aspirasi Arab
dan Yahudi secara adil sebagai alternatifnya, tetapi Israel tak mendengarnya.
Sejak masih di Jerman Buber menghantam
Zionisme ala Theodor Herzl, dan menyerukan hubungan dialogis yang otentik
antara Yahudi dan Arab, seperti terekam dalam buku kumpulan esai-esainya
berjudul A Land of Two Peoples. Akan tetapi, buat mayoritas Yahudi, suara Buber
rupanya kalah menarik dibanding suara Herzl.
Saya bayangkan, seandainya kalangan
Zionis mengikuti seruan Buber untuk mengakui bahwa Eretz Yisrael (Tanah Israel)
pada dasarnya adalah milik bersama antara Yahudi dan Arab, maka status negara
Israel sebagai akan menjadi negara sekuler yang netral saja, tanpa atribut
"Yahudi". Status warga Yahudi setara dengan warga non-Yahudi.
Tapi dalam kenyataannya, seruan Buber
tak digubris. Kalangan Zionis mendirikan negara Israel sebagai negara dengan
label “Yahudi.” Label ini dengan sendirinya menempatkan warga Arab Israel
yang jumlahnya hampir satu juta (20 persen dari penduduk Israel) seperti
tinggal di negara yang bukan miliknya. Belum lagi kalau diingat bahwa pendirian
negara ini pada 1948 menyebabkan 700.000 orang Palestina terusir dari tanah
kelahirannya, tragedy yang dikenang oleh bangsa Arab sebagai al-Nakba
(katastrofi). Ini diperparah dengan kolonisasi Israel atas Tepi Barat sungai
Jordan, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang masyhur dengan sebutan “wilayah
pendudukan” setelah kemenangan mereka dalam Perang Enam Hari pada1967.
Kolonisasi yang kemudian diikuti dengan penerapan suatu system yang oleh Jimmy
Carter disebut sebagai Apartheid.
Dengan statusnya sebagai negara Yahudi
yang mempraktekkan system demokrasi, Israel harus menerima fakta bahwa tak lama
lagi, dalam hitungan puluhan tahun ke depan, warga Yahudi tidak lagi menjadi
mayoritas karena penduduk Arab di Israel, ditambah dengan yang tinggal di
wilayah pendudukan, jumlahnya lama-lama melebihi warga Yahudi di negara itu
hanaya dalam hitungan puluhan tahun ke depan.
Kalau ini benar-benar terjadi, Zionisme
yang digagas oleh Herzl justru akan seperti menggali kuburnya sendiri. Kenapa?
Karena negara Yahudi pelan tapi pasti akan runtuh, bukan karena serangan dari
luar atau arus demonstrasi, melainkan oleh perkembangan demografinya sendiri.
Bagaimana mungkin Israel disebut sebagai negara Yahudi kalau ternyata mayoritas
penduduknya Arab? Padahal kalau resep Buber yang dijalankan sebagai pedoman
untuk menata negara Israel, ancaman demografi semacam itu mungkin tak akan
muncul.
Atas dasar itu, kontras pemikiran
Zionisme versi Herzl dan Herzl kiranya menarik untuk ditengok kembali, terutama
ketika konflik Israel dan Palestina begitu berlarut-larut, melebar ke mana-mana
dan semakin memburuk seperti sekarang.
Zionisme dan persoalan Yahudi
Untuk memperjelas duduk perkaranya, ada
baiknya kita selintas menengok sejarah. Kelahiran Zionisme yang digagas oleh
jurnalis asal Wina bernama Theodor Herzl pada tahun 1897 tidak bisa dilepaskan
dari “Persoalan Yahudi” (The Jewish Question) yang menghantui Eropa modern.
Pencerahan (Aufklarung) yang ditandai dengan supremasi rasionalitas, kebebasan,
dan otonomi individu membawa Eropa menuju tahap peradaban yang oleh Immanuel
Kant disebut sebagai Mundigkeit (kedewasaan). Namun, pada saat yang sama,
Pencerahan juga membuat Persoalan Yahudi menjadi isu krusial di Eropa, terutama
pada abad ke-19.
Inti Persoalan Yahudi berkisar pada
pertanyaan ini: mungkinkah Yahudi cocok dengan spirit Pencerahan? Tengoklah
legalisme Judaisme yang berlawanan dengan rasionalitas. Tradisi keYahudian yang
kuat tertanam dalam ingatan masa lalu kolektif ribuan tahun jelas bertolak
belakang dengan ide kemajuan yang berorientasi masa depan. Dan parokialisme
komunitas Yahudi tidak sejalan dengan humanisme Pencerahan yang cenderung
berwatak kosmopolit. Situasi ini diperparah oleh sentimen anti-Semitisme yang
menghunjam kuat dalam sejarah Eropa. Dengan kata lain, Persoalan Yahudi
memosisikan Yahudi sebagai the other bagi Eropa.
Dalam kondisi demikian, mungkinkah
komunitas Yahudi mengadopsi kultur Pencerahan agar mengalamai emansipasi? Lebih
jauh, bisakah Judaisme sejalan dengan modernitas?
Menyikapi hal ini, sikap kalangan
Yahudi sendiri terpecah. Ada yang berpendapat kalau emansipasi Yahudi hanya
bisa dicapai melalui jalur asimilasi, yakni berintegrasi secara penuh dengan
kultur Eropa.
Moses Mendelssohn, misalnya,
berpendapat, emansipasi Yahudi hanya bisa dicapai dengan menafsirkan Judaisme
agar sejalan dengan Pencerahan dan kultur sekular Barat. Dalam karyanya
Jerusalem, Mendelssohn merumuskan tafsir liberal atas agama Yahudi. Judaisme
pun ia tafsirkan sebagai agama yang cocok dengan rasionalitas dan sekularisme.
Dari sinilah kemudian berkembang gerakan haskalah (Pencerahan Yahudi) dan
Reform Judaism di Jerman abad ke-19 yang memaknai keyahudian bukan sebagai
ketaatan terhadap ritual dan halakhah (hukum Yahudi), melainkan sebagai iman
berdasar pemahaman tiap-tiap individu mengenai Judaisme.
Sementara itu, Karl Marx, dalam esai
terkenalnya yang berjudul "Persoalan Yahudi" justru bergerak lebih
jauh dengan menganggap emansipasi Yahudi hanya bisa dicapai melalui emansipasi
manusia dari kapitalisme. Menurut Marx, Judaisme hanyalah sekadar pantulan kegamaan
dari cara berpikir borjuasi. Emansipasi bangsa Yahudi, kata Marx, hanya bisa
tercapai melalui emansipasi masyarakat secara keseluruhan dari Judaisme.
Berbeda halnya dengan Theodor Herzl. Ia
menolak solusi Mendelssohn maupun Marx terhadap Persoalan Yahudi karena
menurutnya, implikasi nyata yang akan muncul adalah terserapnya
individu-individu Yahudi dalam kultur Eropa dan sirnanya bangsa Yahudi sebagai
kelompok yang disatukan oleh masa lalu bersama, tradisi, dan agama. Namun, yang
paling dicemaskan Herzl, asimilasi melemahkanYahudi sehingga tidak bisa membela
diri dari diskriminasi yang menimpanya.
Di mata Herzl, Persoalan Yahudi muncul
karena bangsa Yahudi selama beratus-ratus tahun hidup secara abnormal, yakni
sebagai Diaspora yang terpencar-pencar sebagai minoritas di berbagai negara.
Satu-satunya cara memecahkanPersoalan Yahudi dalam hemat Herzl adalah dengan
hidup sebagai bangsa yang normal di bawah payung negara Yahudi.
Dari sinilah bermula proyek Zionisme
untuk mengumpulkan bangsa Yahudi yang terpencar-pencar di Israel. Dalam
pandangan Herzl, misi ini tidak akan tercapai kecuali melalui pembentukan
kekuatan politik dan militer yang khusus diabdikan bagi kepentingan bangsa
Yahudi.
Ambisi menciptakan individu-individu
Yahudi yang kuat ini kiranya seirama dengan obsesi Zionisme terhadap otot dan
kejantanan. Tokoh zionis Max Nordau, misalnya, berbicara tentang "Jewry of
Muscle", yakni tentang perlunya Zionisme menghidupkan kembali citra Yahudi
pra-diaspora yang menurut Nordau berwatak maskulin yang kekar dan berotot.
Namun, manifestasi yang paling nyata adalah konsep "warga
negara-sebagai-tentara" di Israel yang mewajibkan setiap warga negara,
laki dan perempuan, mengikuti program wajib militer. (Namun, ini tidak berlaku
bagi warga Arab Israel)
"Timur" di Barat, "Barat" di Timur
Bagi Herzl, Zionisme juga sebagai proyek
pemberadaban. Ini terlukis dalam novel utopianya, Old-New Land (1902). Novel
ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina, Austria, yang
melancong ke Mediterania dan mampir ke Kota Suci Jerusalem.
Di sana Loewenberg mendapati betapa
Jerusalem sebagai tanah tandus yang tak terurus, dengan perkampungan Arab yang
kumal dan anak-anak kecil yang bermain tanpa pakaian. Namun, betapa takjub
Loewenberg ketika singgah lagi di Jerusalem 20 tahun kemudian.
Karena Jerusalem berhasil disulap oleh
para Zionis menjadi metropolitan yang bersih, makmur, dan ramah. Bahkan, tokoh
Arab rekaan Herzl di novel tersebut bernama Reschid Bay menyambut dengan
sukacita karya Zionisme ini sebagai penciptaan Masyarakat Baru yang akan
menguntungkan kawasan Palestina.
Dalam kerangka semacam itulah kita
memahami pernyataan Herzl bahwa Israel akan menjadi "bagian dari benteng
Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban menangkal
barbarisme".
Di tanah yang baru ini, kata Herzl,
Yahudi tidak lagi menjadi target prasangka anti- Semit yang mewabah di Eropa
abad ke-19, yang menggambarkan Yahudi sebagai "kotor, licik, parasit,
lembek, sosok Abad Pertengahan". Sebaliknya, di tanah baru nanti, kata
Herzl, Yahudi tampil sebagai sosok "rasional, kuat, beradab"; dengan
kata lain: Eropa.
Di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai
"Yang Lain". Namun, di Palestina, Yahudi tiba- tiba bermatomorfosis
menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai "Yang Lain". Untuk
menghapus identitas ke-"yang lain"-annya di Eropa, Yahudi eksit dari
Eropa dan menjadi Eropa dengan berada di luar Eropa. Jika di Barat Yahudi
adalah "Timur", maka di Timur mereka menjadi "Barat".
Ironisnya, citra diri sebagai Eropa di
Asia yang melekat pada Yahudi Eropa (Ashkenazi) juga memojokkan Yahudi Arab
(Mizrahi) yang diperlakukan sebagai "yang lain" dalam gerakan
Zionisme itu sendiri, karena mereka dianggap telah tercemar oleh Arab. Karena
itu, ketika pertama kali tiba sebagai imigran ke Israel, Mizrahi harus disemprot
lebih dulu dengan DDT (dichloro diphenyl trichloroethane) untuk membasmi kuman
dan penyakit yang mungkin mereka bawa dari tempat asalnya.
Antipati terhadap Mizrahi secara terus
terang diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, tokoh Zionis sayap kanan yang menjadi
perintis Partai Likud. Dalam artikelnya berjudul The Jews of the East,
Jabotinsky menegaskan tidak adanya pertautan sama sekali antara Yahudi dengan
Timur. Lebih jauh, ia menentang perkawinan Yahudi Eropa dengan Yahudi Arab
karena tidak diketahui apakah akan menghasilkan "anak yang brilian atau
ras yang dungu". Jabotinsky juga merekomendasikan agar pengucapan bahasa
Ibrani modern hendaknya lebih didekatkan ke bahasa-bahasa Eropa ketimbang
bahasa Arab karena "kita adalah Eropa, dengan selera musik Rubinstein,
Mendelssohn, dan Bizet".
Buber dan Arab
Pemujaan terhadap supremasi kekuatan
fisik (Yahudi yang berotot) yang diwujudkan dalam bentuk Negara Yahudi, dan
citra diri sebagai pembawa peradaban (mission civilisatrice), itulah dua ciri
Zionisme Herzl. Resultante dari kedua hal itu pada akhirnya menyebabkan nasib
rakyat Palestina sama sekali absen dari diskursus kaum Zionis.
Lihat saja semboyan mereka tentang
Palestina, "Tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah". Ini
menunjukkan bahwa eksistensi Arab tidak pernah hadir dalam benak mereka. Atau
simak pernyataan ketus Golda Meir, mantan Perdana Menteri Israel, "Tidak
ada yang namanya rakyat Palestina. Saya juga Palestina."
Zionisme bagi para pencetusnya dianggap
sebagai solusi terhadap Persoalan Yahudi di tanah Eropa, Tetapi ketika
diterapkan di Palestina, gerakan ini justru memunculkan Persoalan Arab.
Solusi melahirkan problem baru. Ironisnya, para zionis nyaria abai terhadap
persoalan Arab. Narasi zionisme selalu berkisar tentang posisi Yahudi sebagai
the other di Eropa yang menjadi korban Holocaust, tanpa peduli dengan bangsa
Arab yang mereka perlakukan sebagai the other di Palestina.
Pada titik inilah, Buber berseberangan
dengan Herzl dan tokoh zionis lainnya. Bagi Buber, Zionisme sejatinya adalah
pertautan bangsa Yahudi dengan Zion pada level moral dan spiritual sebagai
jalan merealisasikan apa yang dia sebut sebagai nilai utama Yahudi, yakni
Tikkun Olam (mengobati dunia). Ini saja sudah jelas bertabrakan dengan Zionisme
Herzl.
Dalam anggapan Buber, obsesi zionisme
terhadap kekuatan fisik dalam bentuk "negara Yahudi dengan bendera,
meriam, dan dekorasi militer" justru mengingatkannya pada Nazi yang juga
punya obsesi serupa. Tampaknya, di mata Buber, Yahudi di Israel lebih memilih metode
Hitler sebagai model untuk melindungi diri.
Menarik untuk dicatat, hantaman Buber
terhadap Zionisme Herzl bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa
Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan
mereka.
Perhatian Buber terhadap bangsa Arab
memang bukan semata-mata atas dasar politis, melainkan etis-filosofis. Buber
mendambakan suatu situasi di mana Yahudi menjalin hubungan yang otentik dengan
Arab, yang dalam kerangka filsafat Buber berarti hubungan I-Thou dan bukan
I-it. Relasi I-Thou adalah pertemuan antara dua subyek dengan keunikannya
masing-masing, dalam momen dan suasana yang konkret dan tak terulang, sehingga
pertemuan itu tak bisa diringkus oleh pengetahuan dan konsep-konsep. Ini
berbeda dengan modus relasi I-It yang ditandai dengan penaklukan dan
penguasaan.
Bagi Buber, berdirinya Israel tidak akan
menyelesaikan Persoalan Yahudi manakala ia mengabaikan fakta bahwa tanah yang
oleh kalangan Yahudi disebut Eretz Yisrael pada dasarnya milik dua bangsa,
Yahudi dan Palestina. Keduanya punya klaim yang sama sahnya atas tanah itu.
Keduanya perlu mencari jalan untuk hidup bersama. Negara yang berdiri di atas
tanah tersebut harus berbentuk negara dwi-bangsa (binational state), dan bukan
Jewish state.
Atas dasar itu, Buber sejak awal
menentang upaya Israel mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk
mencapai status mayoritas. Ia juga menentang kebijakan Law of Return yang
memberi hak kepada setiap orang Yahudi di mana pun untuk otomatis menjadi warga
negara Israel. Baginya, kebijakan ini mencederai prinsip kesetaraan Yahudi dan
Arab sebagai dwi-bangsa.
Sayangnya, impian Buber belum akan
terlaksana segera. Israel sudah "mengunci" status negara Yahudi
sebagai sesuatu yang tak bisa diganggu gugat.
Namun, bukan berarti suara Cassandra
tidak lagi bergema di Israel. Buber sedikit banyak turut mengilhami munculnya
gerakan pasca-Zionisme di kalangan intelektual, wartawan, dan seniman di Israel
yang mulai marak pada 1990-an. Nama-nama seperti Amos Oz dan David Grossman
(sastra), Ilan Pappe dan Baruch Kimmerling (ilmu sosial), dan Tom Segev
(jurnalisme) sering dikaitkan dengan gerakan ini.
Target kaum pasca-zionis ini di ntaranya
adalah penghapusan identitas keyahudian dari Israel dan mencukupkan diri dengan
label demokrasi normal, sebagaimana negara-negara demokrasi lain. Buat mereka,
selama Israel masih mendefinisikan diri sebagai negara Yahudi, maka klaimnya
yang membanggakan diri sebagai paling demokratis di Timur Tengah menjadi
problmetais karena Israel, di mata kaum pascazionis, tidak bisa sekaligus
Yahudi dan demokratis. Atau negara Yahudi atau demokrasi.
Saya tidak tahu seberapa besar pengaruh
gerakan ini dalam wacana publik Israel. Namun, setidaknya, ini pertanda bahwa
harapan menciptakan Israel sebagai negara dwi-bangsa seperti digagas oleh
Martin Buber tidaklah sama sekali mati.
0 komentar:
Posting Komentar